Dah lah gajadi Insekyur
Kita jauh lebih menderita dalam pikiran ketimbang
keadaan yang sebenarnya
~ Seneca ~
Sepanjang hidup sebenarnya sudah seberapa sering kita mengalami hal buruk? Seberapa sering menyalahkan diri sendiri terhadap berbagai macam kegagalan? Dan seberapa sering membandingkan hidup kita yang tidak lebih baik dari hidup orang lain? Terlebih sekarang begitu mudahnya mengakses informasi kapanpun dimanapun lewat media sosial, makin mudah ngeliat pencapaian yang diraih orang terdekat dan idola kita, kemesraan dengan pasangannya, promosi jabatan, kulit glowingnya, baju mahalnya dll. Yang pada ujungnyaaa adalah makin bikin depresi karna kenapa kita gak seberuntung mereka (?).
Disini mimin nggak pengen membahas ‘mereka’ karna ya itu sah-sah aja, tapi lebih pengen membahas tentang sesuatu pada diri kita yang menjadi awal dari keresahan hati dalam koridor Stoicism.
Overview mengenai
Stoicism. Jadi ini merupakan aliran filsafat yang digagas oleh Zeno di Athena,
seorang filsuf yang berasal dari Citium, kalo sekarang kita taunya sbagai
Cyprus pada awal abad 3 SM yang kemudian dikembangkan oleh tiga tokoh yang
mestinya udah kita kenal; Epictetus sang Budak, Marcus Aurelius sang “Kaisar Baik”
terakhir Romawi serta Seneca sang Politikus. Inti dari filsafat ini adalah
bahwa kedamaian dan kebahagaiaan datengnya dari hati, yang mana ini perlu terus
dilatih supaya kita bisa menemukan hakikat kebahagiaan. Dalam perjalanan menemukan
kebahagiaan itu terlebih dulu kita harus tahu ada bahwa ada dikotomi kendali:
1.
Hal
yang bisa kita kendalikan, seperti perspektif, interpretasi, tujuan, keinginan
dan tindakan kita.
2. Hal yang gak bisa dikendalikan. Seperti tindakan orang lain, kondisi saat lahir (asal ras, gender, orang tua), cuaca dll.
Awal masalahnya adalah ketika nggak mampu mengenali apa yang dalam kendali dan tidak dalam kendali kita, malah seringkali menggantungkan kebahagiaan pada sesuatu diluar kendali tersebut. Sehingga apabila kenyataan tersebut nggak selaras dengan harapan maka akhirnya marah-marah gak jelas dan menyalahkan kondisi yang ada. Sebab dengan semakin menyadari batasan kendali juga berdampak pada meningkatnya kesadaran atas penerimaan diri kita, memang kita nggak bisa mengendalikan arus angin tapi sangat bisa mengendalikan layar untuk memutuskan kemanakah kapal tersebut pergi. Ada juga peribahasa “10% masalah dalam hidup kita ya masalah itu sendiri, 90% sisanya tergantung gimana reaksi kita pada masalah tersebut”, nah makanya dari itu Stoic ini bisa jadi salah satu alternatif untuk mengendalikan reaksi tersebut.
Dalam Stoic,
alih-alih membayangkan segala rencana berjalan sesuai harapan, kita diajarkan
untuk memikirkan kemungkinan terburuk akan terjadi pada keputusan kita. Karna dengan
memikirkan kemungkinan terburuk kita jadi makin siap menghadapi masalah
tersebut, nah apabila kemungkinan terburuk itu pada akhirnya nggak terjadi ya Alhamdulillah
kita bisa lebih bersyukur, tapi kalo emang beneran terjadi setidaknya rasa
sakit yang ditimbulkan nggak separah tanpa perencanaan skenario tadi.
Kita juga harus menyadari bahwa segala sesuatu itu hanya sementara, nggak ada kesedihan maupun kebahagiaan yang kekal adanya, yaudah tenang nggak perlu berlarut-larut dalam emosi. Yang perlu disadari adalah segala yang terjadi didunia ini siklusnya berulang, bukan cuma pada tiap individu tapi juga tiap generasi. Dan ketimbang tenggelam dalam luapan emosi bisa banget untuk melatih diri supaya lebih berorientasi untuk mencari solusi, toh satu peristiwa buruk juga bukan akhir dari cerita hidup kita.
Pada dasarnya Stoisisme nggak mengajarkan untuk bersikap datar atau pasrah terhadap apa yang datang kepada kita, tapi lebih kepada bagaimana cara mengendalikan pikiran dari emosi negatif sehingga nggak mudah terombang-ambingkan dengan peristiwa disekitar kita. Dengan terus melatih persepsi terhadap segala sesuatu kita makin bisa menanggapi peristiwa secara lebih bijak dan tenang, alih-alih mengeluhkan mengenai apa yang terjadi pada diri sendiri justru makin terlatih untuk menemukan solusi serta evaluasi diri, menemukan apa yang terbaik dan diperlukan agar bisa sampai pada kebahagiaan sejati. Karna hakikatnya setiap manusia itu unik serta bahagia dengan caranya sendiri, namun menyamaratakan tingkat kebahagiaan terlebih menggantungkan kebahagiaan pada diluar kendali sama saja dengan seseorang yang mengejar bayangnya sendiri.
Kita bisa
menerima dan menyesuaikan diri. Pikiran kita bisa beradaptasi dan mengubah
halangan menjadi dukungan untuk mencapai tujuan. Halangan terhadap tindakanlah
yang memajukan tindakan kita. Apa yang menghalangi jalan kita menjadi jalan itu
sendiri.
~ Marcus
Aurelius, Meditations ~
Referensi
Meditations,
Marcus Aurelius
Filosofi
Teras, Henry Manampiring
Gita
Wirjawan
Aperture
Komentar
Posting Komentar